Sejak
dicanangkannya pelaksanaan syari’at Islam di Aceh Darussalam,
pada 1 Muharram 1423 H lalu, banyak pihak yang menilai
Syari’at Islam di Aceh kini berada di persimpangan jalan.
Dengan kata lain, apakah Syari’at Islam dipahami secara
simbolis atau menjadi solusi. Dua kutub ekstrim itu kini mencuat
di Aceh Darussalam. Berkali-kali gebernur Aceh mengatakan bahwa
pelaksanaan Syari’at Islam adalah solusi untuk menyelesaikan
konflik yang kini masih berlanjut. Sedangkan mereka yang berada
di “luar” kekuasaan menuding pelaksanaan Syari’at Islam
terjebak dalam simbolisasi. Ini terlihat dari adanya kawasan
tutup aurat dan bagi-bagi jilbab.
Bagi
saya, simbolisasi dan substansi adalah dua hal ibarat dua sisi
mata uang. Kita akan kehabisan energi manakala meributkan kedua
hal itu. Justru yang harus kita lakukan adalah mensinergiskan
simbol dan substansi dalam aktualisasi Syari’at Islam di Aceh.
Substansi itu penting, sebab implementasi syari’at, sejatinya,
tidak boleh dipahami sebagai masalah perundang-undangan saja.
Formalisasi sangat mudah dilakukan, namun menggapai substansi
Islam, bukan hal yang mudah.
Karena
itu, ada hal yang harus kita pahami bersama bahwa memperjuangkan
Syari’at Islam bukanlah karena mengandalkan kewajiban negara
semata, tetapi lebih merupakan konsekuensi logis semua orang
yang telah mengaku Islam dan beriman. Dalam konteks itu maka ada
pilihan-pilihan yang dapat kita lakukan dalam kaitannya dengan
aktualisasi Syari’at Islam:
1.
Gerakan Individual, yaitu gerakan melaksanakan Islam
mulai dari dirinya sendiri dan keluarga. Hal ini seperti sering
diucapkan para da’i, “kalau kau ingin menegakkan negara
Islam, tegakkan negara Islam dalam dirimu”. Betapa banyak
ruang lingkup Syari’at Islam bisa dikerjakan, terutama
menyangkut hukum-hukum private (pribadi).
2.
Gerakan Sosial dan Pendidikan, yaitu gerakan menebarkan
ajaran Islam kepada masyarakat awam melalui jalur pendidikan,
kesehatan dan lainnya, sebagai pembuktian bahwa ajaran Islam rahmatan
Lil ‘alamin dalam bentuk praktek. Gerakan inilah yang
menjadi kekuatan strategis. Sepanjang sejarah perjalanan Islam,
gerakan pendidikan sangat diperlukan dalam rangka mempersiapkan
SDM secara kuantitatif dan kualitatif.
3.
Gerakan Sosial Politik, yaitu kalangan intelektual muslim
Aceh yang berada di berbagai institusi sosial, plolitik,
birokrasi, bisnis, teknologi dan lainnya. Di sini diperlukan
mobilitas vertikal dan horizontal secara bersama-sama. Pada saat
diperlukan, potensi dan aktualisasi sumber daya manusia telah
siap.
4.
Gerakan legislasi, yaitu memperjuangkan nilai-nilai Islam
dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan. Di Aceh,
perjuangan ini dilakukan dalam bentuk mempersiapkan dan
menjalankan Qanun-qanun yang mengakomodasi pelaksanaan
Syari’at Islam. Formalisasi syari’at ini diharapkan menjadi
rujukan dalam upaya mereformasi sektor ekonomi, sosial dan
pemerintah yang bobrok. Meskipun formalisasi Syari’at Islam
tidak serta merta memberikan solusi atau problem kehidupan di
Aceh, paling tidak para pengambil kebijakan di Aceh telah
memiliki pegangan yang kuat untuk merealisasikan dan
merehabilitasi berbagai ketimpangan, baik sosial maupun yang
lainnya.
Gerakan
legislasi ini memberi peluang yang besar, karena lebih mudah
untuk melakukan dialog dengan kalangan lain di parlemen.
Saya yakin dan
percaya di antara kita masih banyak pilihan-pilihan strategis
yang bisa kita lakukan dalam aktualisasi Syari’at Islam di
Aceh Darussalam. Wallahu’alam.
Baca
Opini lagi >> |