Pembicaraan
syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam ini, telah
menyeruakkan kebahagiaan
tersendiri bagi masyarakat Aceh. Pemberlakuannya yang secara
resmi di proklamirkan pada 1 Muharram 1423, telah melahirkan
pertanyaan bagi kita. Mungkinkah kejayaan sejarah penerapan
syari’at Islam seperti yang pernah berlangsung pada masa
kejayaan sultan Iskandar muda dulu bisa terulang ?
Entahlah.
Tapi, yang pasti upaya menciptakan tatanan social yang
berlandaskan syari’at Islam membutuhkan waktu dan proses yang
panjang. Dan ini bukan pekerjaan yang
ringan, tentu. Walaupun harus diakui secara histories
Aceh pernah menjalankannya, dan berlangsung sukses.
Kondisi
real hari ini, memperlihatkan adanya kegamangan akan
keberhasilan penerapan hukum Tuhan tersebut. Hal ini disebabkan
terjadinya lost generation yang dialami umat Islam Aceh
terutama. Terutama ketika Aceh mengalami persentuhan dengan semangat sekularisme, yang
notabenenya berasal dari negeri seberang (Barat). Dan ini
agaknya sulit untuk dihindarkan.
Konon,
walaupun fenomena ini melahirkan pro-kontra
di masyarakat, namun yang penting dari semua itu
tampaknya adalah konsistensi masyarakat Aceh sendiri untuk
memulai penerapannya. Siapkah kita dengan segala konsekwensi,
ketika benar-benar syari’at ini membumi? Jangan sampai seperti
dinsinyalir oleh banyak masyarakat, keinginan memberlakukan
syariat tersebut, menjadi sebuah semangat tanpa keinginan untuk
menyambutnya secara kaffah.
Terlepas
apapun alasannya, genderang ‘perang’ untuk berjuang
menegakkan hukum Tuhan sudah ditabuh. Mau tidak mau, ini harus
disahuti. Tentu dengan menggunakan skala prioritas. Artinya,
seperti pernyataan Kadis Syariat Islam NAD. Al-Yasa’ Abu
Bakar, bahwa semuanya harus disesuai dengan kemampuan yang
dimilki.
Karena
itu, dalam proses pelaksanaannya dibutuhkan perangkat hukum yang
sebelumnya harus disosialisasikan kepada masyarakat. Jangan
sampai masyarakat merasa kaget dan terkesan tidak siap.
Selain
itu proses pendidikan yang mengarah pada penyiapan pemahaman
hukum Tuhan tersebut juga harus dirintis secara komprehensif dan
sungguh-sungguh agar penerimaan
masyarakat terhadap aturan-aturan transcendental tersebut bisa
lebih mantap.
Secara
praktis, upaya pendekatan untuk penerapan syariat Islam, menurut
Arief, dapat dilakukan dengan melakukan pendekatan cultural. Hal
ini karena secara histories syariat tersebut identik dan pernah
berlangsung di Aceh. Menurut Arief lagi, Aceh harus betul-betul
mampu dan serius untuk melaksanakan syari’at Islam ini
sehingga betul-betul dapat menenteramkan kehidupan masyarakat,
sebab bila tidak, lanjutnya lagi, fenomena ini justru akan dapat
menimbulkan stigmasi dari masyarakat non muslim terhadap
syari’at Islam itu sendiri.
Terlepas
dari fenomena sejarah tersebut, tampaknya masyarakat Aceh
benar-benar sedang di tantang untuk menyikapi momentum
pemberlakuan syariat Islam sekarang ini. Adanya “maklumat”
wajib jilbab bagi perempuan, tampaknya mulai disahuti meskipun
dalam intensitas yang sangat minim. Demikian juga
penulisan-penulisan arab melayu pada intitusi-institusi
pemerintahan mulai semarak, meskipun masih sebatas simbol.
Fenomena tersebut menurut Din Syamsuddin, dalam diskusi panel
yang digelar IMM Aceh beberapa waktu yang lalu, meskipun masih
merupakan sebuah symbol tapi itu penting untuk memulai proses
pemberlakuannya. Persoalan-persoalan teknis lainnya itu sudah
menjadi tanggung jawab para ulama dan cendikiawan muslim,
komentar Sekjen MUI tersebut.
Menyangkut
teknis penegakan hukum syariat, ide polisi syariah (polsus) yang
beberapa waktu lalu sempat berkembang, tampaknya masih sebatas
wacana dan belum dibahas mekanismenya. Hal ini terungkap dari H.
Abdullah Puteh saat dijumpai Pelopor seusai menyampaikan
sambutan acara Milad IMM di Aula Depag 14/3. Menurutnya,
rancangan ide polisi syariah (Polsus) tersebut masih dalam tahap
proses dan nantinya akan dibahas dalam sub qanun.
Terlepas
dari wacana tersebut, tampaknya persoalan mendesak yang
perlu difikirkan adalah bagaimana menciptakan rangkaian
sistem yang dapat mengikat rakyat ini secara kolektif, baik
pemerintah maupun rakyat, untuk mempunyai tanggung jawab moral
yang tinggi dalam upaya menegakkan syar’at Islam ini secara
konsisten. Upaya
ini penting dilakukan dengan merangkul berbagai komponen, baik yang pro maupun kontra agar persoalan konflik politik yang sedang berlangsung sekarang dapat segera
di eliminiasi secara damai
Baca
topik yang berkaitan >>
|