|
Syari’at
Islam, walau bukan merupakan sebuah konsep untuk solusi terhadap
penyelesaian konflik Aceh, setidaknya dapat memberikan angin
segar bagi perkembangan Aceh ke depan. Ada beberapa hal yang
dapat perlu diingat berkenaan dengan pemberlakuan Syari’at
Islam ini; Pertama, bahwa ajaran Islam sudah pernah
diterapkan di Aceh pada masa kerajaan Sultan Iskandar Muda. Kedua,
Hingga saat ini nuansa Islami masih dapat dilihat dalam sebagian
besar kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh, dimana nilai-nilai
tersebut include dalam adat-istiadat dan norma kehidupan
masyarakat. Ketiga, Sambutan masyarakat Aceh begitu luas
terhadap pemberlakuan Syari’at Islam.
Pada
masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda, beliau pernah menghukum
rajam putra kandungnya hingga meninggal, karena melakukan zina
dengan salah seorang anak pejabat di lingkungan kerajaan. Sejak
saat itu muncul sebuah ungkapan; Meunyo matee aneuk meupat
jeurat, meunyo gadoh hukom pat tamita (Jika meninggal anak
ada kuburnya, jika hukum yang dilanggar/tidak ditaati tak kemana
dicari). Ini memberikan pengertian bahwa hukum merupakan sistem
yang harus ditaati, sebab jika hukum sudah tak dapat ditegakkan,
maka semua tata kehidupan tak dapat dikendalikan. Kasus di atas
adalah salah satu bentuk penegakan hukum yang diterapkan pada
masa Sultan Iskandar Muda yang memberlakukan Syari’at Islam
secara tegas dan tidak pandang bulu.
Akan
halnya pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh saat ini, masih
menyisakan beberapa pertanyaan. Masalahnya adalah niat awal yang
keluar dari lubuk hati pengambil kebijakan tersebut. Apakah
pemberlakuan Syari’at Islam semata-mata sebagai solusi
konflik, atau memang ingin menghidupkan kembali Aceh yang
benar-benar Islami. Soalnya, moment yang diambil untuk
memberlakukan Syari’at Islam dianggap masyarkat sebagai hal
yang sangat tendensius, yakni di tengah-tengah konflik yang
semakin tak terkendali, artinya lebih mengarah ke urusan
politik. Konon pula, setiap kebijakan yang dekeluarkan
pemerintah terhadap Aceh, selalu kandas dalam implementasi
sehingga stigma bahwa Jakarta ‘selalu menipu’ Rakyat Aceh
lebih kental terasa dari pada nuansa keikhlasannya.
Namun
demikian, apapun yang keluar dari mulut dan kebijakan siapapun,
nampaknya perlu diberi ruang gerak untuk mencobanya. Siapa tahu,
bisa bermanfaat ganda; antara meredam konflik yang
berkepanjangan dan berlakunya Syari’at Islam secara benar.
Memang terkesan trial and error, tapi memang begitu
adanya, lebih baik dari pada never trial and error forever.
Kita semua tentu saja berharap banyak, bahwa kebijakan
pemberlakuan Syari’at Islam ini akan dapat memberikan nuansa
baru bagi tata kehidupan masyarakat Aceh yang tidak usai
dirundung malang akibat konflik berkepanjangan, semoga.
|