Ada satu pertanyaan yang tidak pernah usai diperdebatkan sejak
perkembangan sejarah manusia, kenapa perempuan sering menjadi "korban"
diskriminasi di tengah-tengah pembangunan peradaban manusia.
Padahal ditilik dari kacamata religi, perempuan justru merupakan
mitra laki-laki yang derajatnya sudah di angkat oleh para nabi
yang di utus Tuhan kepermukaan bumi ini.
Pernyataan ini telah mengingatkan kita pada masa lampau tatkala di
berbagai belahan dunia, perempuan sering diidentikkan dengan "orang
nomor dua", bahkan ada beberapa kawasan atau negara yang
memposisikan perempuan sebagai "parasit" yang dianggap mengotori
alam dunia. Gambaran stereotip ini misalnya, dapat disaksikan pada
sejarah Yunani kuno yang menstigma perempuan sebagai sumber
ketidakberuntungan dan juga dianggap membawa penyakit. Di Jazirah
Arab, (pada masa pra Islam), bayi perempuan justru tidak
dibenarkan untuk hidup (menguburkannya hidup-hidup). Demikian juga
yang terjadi di Albania, mereka malah mempunyai pepatah yang tidak
kalah tragis dengan stereotip di atas yang mengabadikan "kerendahan"
perempuan melalui ungkapan, memukul laki-laki dengan kata-kata,
memukul perempuan dan keledai dengan batang kayu.
Deskripsi tersebut di atas, merupakan catatan kelam yang tidak
pernah dilupakan sejarah meskipun secara mondial manusia telah
mendeklarasikan HAM semesta 1948 serta perangkat khusus HAM
tentang perempuan, yaitu Konvensi Hak-Hak Politik Perempuan yang
diadopsi PBB tahun 1958, dan juga konvensi Penghapusan Semua
Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan (Conventions on the
Elimination of All forms of Discriminations Against Women /
CEDAW) yang ditandatangani tahun 1979 dan diberlakukan pada 1981,
(di Indonesia diratifikasi tahun 1984), dengan banyak negara
peratifikasi terdaftar dalam catatan reservations (syarat,
keberatan), yaitu pasal-pasal dan traktat.
Dalam perjalanannya, realitas tersebut justru menjadi ironi,
pengingkaran atas hak-hak perempuan sepanjang sejarah pasca
legitimasi CEDAW tersebut, ternyata terus saja berlangsung di
berbagai belahan dunia. Indonesia, misalnya, meskipun secara manis
telah meratifikasi CEDAW, tetapi dalam prakteknya telah
mengingkari isi kovenan dimaksud, ini terlihat pada banyaknya
daftar korban pelanggaran dan pelecehan seksual seperti yang
dialami perempuan terutama yang terjadi di pada era DOM (Daerah
Operasi Militer)di Aceh. Demikian juga Thailand dalam kasus yang
cukup menghebohkan, dengan isu komersialisasi seksnya.
Pada awal 1990-an, di berbagai negara telah terjadi serangkaian
aksi terpisah yang dilakukan kalangan perempuan. Dewan Hak-Hak
Perempuan Asia (the Asian Womens Human Rights Council)
misalnya, memulai kampanyenya menuntut pemerintah Jepang untuk
mengakui secara formal dan memberi konpensasi kepada perempuan di
beberapa negara, yaitu Korea, Indonesia, Cina, Belanda, dan
Filiphina, yang menjadi korban paksaan seksual melayani tentara
penjajah Jepang pada saat perang dunia II.
Upaya kampanye yang dilakukan organisasi tersebut merupakan suatu
indikasi positif yang dilakukan dalam memperluas dan memperkuat
kemampuan perempuan dalam menepis berbagai isu yang diskriminatif.
Kendatipun dalam realitasnya ternyata masih ada juga proses
diskriminasi atas kaum hawa ini dalam banyak aspek, baik dalam
bidang ketenagakerjaan (ekonomi), politik, budaya, kesehatan,
maupun dalam bidang pendidikan, akan tetapi gerakan yang bercorak
pembebasan atas diskriminasi tersebut perlu terus dilakukan secara
berkesinambungan.
Rentetan distorsi yang terjadi secara global tersebut, Bank Dunia
ternyata telah memperoleh data dari hasil kajian di berbagai
belahan dunia, yang mengungkapkan telah adanya diskriminasi
terhadap perempuan dalam banyak bidang seperti pendidikan,
lapangan kerja dan upah yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan
ekonomi, serta menurunnya potensi kesejahteraan masyarakat.
Padahal Bank Dunia juga mencatat bahwa manfaat manifestasi
terhadap perempuan dibidang pendidikan dan kesehatan membawa
manfaat yang lebih baik dibandingkan dengan investasi serupa pada
laki-laki.
Bukti dari contoh tersebut dapat lihat dari pengalaman Afrika yang
memperlihatkan bahwa mengusahakan pendidikan dasar bagi perempuan
ternyata telah menurunkan angka kematian anak balita hingga 40%,
dan hal tersebut sangat menggembirakan. Data ini merupakan imbas
langsung atas aplikasi equality (persamaan) pendidikan bagi
seluruh anak manusia, laki-laki atau perempuan sebagai wujud
perimbangan keadilan yang sering diskriminatif.
Persoalan lain yang perlu direfleksikan dalam konteks ini adalah,
masih banyaknya sistem dan mekanisme nasional, regional, bahkan
internasional untuk penegakan HAM dikembangkan dan
diimplementasikan secara mendasar bagi kepentingan perempuan
dengan model laki-laki, sehingga tentu saja tidak memadai untuk
mengakomodir pengalaman, lingkungan, dan psikis mereka.
Hal tersebut tentu saja akan menimbulkan distorsi keadilan bagi
perempuan, padahal persoalan perempuan sangat spesifik dan
membutuhkan pola pengakomodasian yang berbeda dengan laki-laki.
Kendati demikian, pada esensinya, jika ditilik kovenan yang ada
dalam "pangkuan" DUHAM, semua kovenan yang ada tersebut mempunyai
implikasi positif bagi kepentingan perempuan. Misalnya saja
Konvensi Penghapusan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi dengan
pemaksaan orang lain menjadi pelacur (Convention for the
Suppresion of the Traffic in persons and the exploitation of
others/CST). Konvensi ini sangat berfungsi dalam perjuangan
melawan perdagangan dan eksploitasi seks yang cukup gencar
akhir-akhir ini di berbagai belahan dunia. Demikian juga dalam
Konvensi Penghapusan Diskriminasi dalam Pendidikan (Convention
Against Discrimination in Education/CDE) yang menjamin
kesetaraan hak pendidikan antara laki-laki dan perempuan serta hak
pendidikan dasar tanpa biaya bagi seluruh anak manusia.
Secara konseptual dan organisatoris, pengakomodasian kepentingan
perempuan telah terkonstruks dalam tatanan sistem yang
diproduksi masyarakat global melalui kovenan-kovenan yang ada.
Dalam konteks ini, persoalan mendasar yang perlu dicermati adalah
sejauh mana konsistensi suatu negara dalam mengapresiasikan dan
mengaplikasikan konsepsi dimaksud di bawah cengkeraman kapitalisme
global yang diskriminatif dan eksploitatif ini.
Tinjauan ini dimunculkan akibat merajalelanya ketidakpedulian
sistem kapitalis dalam menghormati nilai-nilai moral, terutama
dalam penghormatan Hak Asasi kaum perempuan. Agaknya pergulatan
panjang yang masih mewarnai hari-hari perempuan dunia umumnya dan
Indonesia khususnya adalah pertarungan kepentingan antara politik
kapitalis dengan kepentingan moral sebagai pengekal eksistensi
manusia dalam membahterai bumi Tuhan ini. Mungkinkah perjuangan
ini berhasil...?(las)